A. Latar Belakang
Allah menjaga kehormatan dan martabat kemulyaan manusia, sehingga hubungan laki-laki dengan perempuan diatur dengan upacara Ijab Qabul dari adanya rasa ridho meridhoi dengan disaksikan oleh para saksi kedua pasangan tersebut.
Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti mahluk lain yang bebas mengakui naluri dan hubungan antara jantan dan betina secara tidak beraturan. Allah adakan hukum sesuai dengan martabat manusia. Di samping itu juga perkawinan sudah menjadi naluri kemanusiaan, yang merupakan kebutuhan jasmani dan rohani. Justru itu Islam memperingatkan bahwa dengan kawin, Allah akan memberi kepadanya jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberinya kekuatan.
Islam menganjurkan perkawinan, dengan maksud tiada lain karena banyaknya faedah dan manfaat yang terkandung didalamnya, baik bagi diri pribadi maupun maupun masyarakat. Bahkan, dapat terjadi hubungan antara manusia itu secara harmonis, mawaddah dan warahmah baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara, selalu saling membantu. Suami istri adalah dasr permulaan dari pada hubungan tersebut. Tanpa suami istri tidak ada keluarga, tidak akan
ada masyarakat dan seterusnya tidak akan ada negara. Perkawinan merupakan suatu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan meneruskan keturunan. Perkawinan merupakan suatu jalan untuk menuju suatu keluarga yang bahagia dan diridhoi Allah SWT.
Perkawinan merupakan suatu cara yang di pilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan perkawinan. Dapat diambil satu pengertian, perkawinan yaitu ikatan antara seorang laki-laki dan seprang perempuan dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan agama. Menyebabkan halal bagi pasangan bersangkutan melakukan hubungan seksual.
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Nikah ditinjau dari segi Syari’at ialah pertalian hubungan (akad) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan maksud agar dapat membentuk keluarga yang shaleh dan membangun masyarakat secara bersih.
Pernikahan yang dilaksanakan menurut penggarisan agama Islam terkandung beberapa tujuan yang mulia dan suci, yaitu: membina kehidupan tumah tangga yang rukun, damai, tenang dan bahagia yang dilaksanakan dengan cinta dan kasih sayang. Tujuan perkawinan akan tercapai manakala dalam rumah tangga hadir sosok perempuan sholihah (maratus sholihah) yang dapat membawa kebahagiaan ketentraman dan ketenangan hidup. Kehadiran seorang perempuan shalih akan berimplikasi pada terbinanya kehidupan masyarakat yang aman dan tentram.
Begitu tingginya nilai maratus shalihah dalam lembaga perkawinan sampai-sampai Nabi menyebut bahwa perempuan shalih adalah sebaik-baik perhiasan dunia. dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda, Artinya : “Dunia itu adalah harta benda, dan sebaik-baik harta benda ialah wanita yang saleh.” (HR Muslim) .
Kalimat Al-mar’atus shalihah tentu tidak asing lagi, hampir pada setiap kesempatan pada acara walimatul urusy kalimat ini sering diperdengarkan dari seorang pencemarah, begitu tingginya nilai maratus shalihah dalam Islam, hanya saja masalahnya bagaimana kita mengenal ciri-ciri wanita yang disebut Al Maratus Shalihah ? meskipun masih sulit untuk mengenali secara fisik akan tetapi melalui indikator-indikator yang bersumberkan dari ajaran Islam sosok maratus shalihah dapat dengan mudah dikenali.
B. Indikator-Indikator Al-Maratus Shalihah
Sebelum sampai pada pembahasan al-maratus shalihah sebaiknya diketengahkan dahulu ajaran Islam mengenai kedudukan wanita. Hal ini disebabkan posisi maratus shalihah dalam sebuah ikatan pernikahan sangat menentukan kebahagiaan dan ketentraman hidup.
Pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia baik pria maupun wanita, semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya untuk mengabdi kepada-Nya. Dengan demikian Islam mengajarkan kepada ummatnya hahwa antara pria dan wanita sama sekali tidak memiliki perbedaan-perbedaan kedudukan, baik kedudukan sebagai hamba Allah, sebagai anggota keluarga, sebagai isteri, sebagai ibu rumah tangga, sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Ketentuan yang menetapkan bahwa kedudukan wanita sama dengan pria dinyatakan dalam Al-Quran sepert pada surat Al-hujurat 13 dan baqarah ayat 228.
Posisi persamaan ini tidak lantas menjadikan kaum wanita melupakan kodratnya seperti contoh bahwa suami tetaplah pemimpin dalam keluarga, dalam kaitan ini M. Qurasih Shihab mengatakan ada dua alasan mengapa suami (dalam struktur keluarga) dikatakan sebagai pemimpin dalam rumah tangga berdasarkan surat An-Nisaa ayat 34. Menurutnya : “pertama karena Allah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dan kedua karena mereka diwajibkan manafkahkan sebagian dari harta mereka untuk isteri dan anaknya.
Seorang maratus shalilah tentu saja akan menjadikan prinsi-prinsip persamaan hak dan kewajiban suami isteri sebagai bagian dari tingkat keimanan dan ketaqwaanya, artinya dengan sadar akan kodrat kewanitaannya maka status maratus shalihah menjadi lebih kokoh.
1. Indikator dalam wilayah pribadi
Indikator ini berhubungan langsung dengan diri pribadi al-maratus shalilah yang implikasnya terbatas pada lingkup diri dan pasangan (suami).
Indiaktor-indikator al-maratus shalihah dapat ditelusuri dari beberapa hadits nabi SAW diantaranya : Dan Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda:
Artinya: Seorang istri terbaik yaitu yang menggembirakan hatimu ketika dipandang, setia kepadamu, kalau disuruh segera melaksanakan perintahmu, dan pandai memelihara kehorma tan dirinya, pandai menjaga hartamu ketika engkau tiada.
Dari hadits ini dapat dikemukakan cirri-ciri wanita shalilah adalah:
a. Menyenangkan hati suami dipandang; dalam Susana duka sekalipun (disebabkan suam berbuat kurang berkenan) seorang wanita tetap menampakan wajah ceria dan menghindarkan muka yang masam
b. Setia dengan suami; ketika suami pergi jauh karena tugas atau mencari penghidupan wanita menunggu dengan setia dan tidak berbuat aniaya dengan menjalin hubungan dengan pria yang bukan muhrimnya
c. Menyegerakan perintah suami (untuk taat); ketika suami menghendaki wanita untuk shalat atau memandikan anaknya maka ia tanggap dengan perintah dari suami
d. Pandai memelihara kehormatan dirinya; wanita tidak berdandan yang dapat memancing birahi kamu laki-laki yakni berdandan dengan berlebih-lebihan
e. Mampu menjaga harta dengan baik; tidak menggunakannya dengan boros dan membelanjakan harta sesuai dengan kebutuhan.
2. Indikator di luar wilayah pribadi
Indikator ini berasal dari diri pribadi al-maratus shalilah namun implikasnya lebih luas dan berhubungan bukan saja dengan pasangan (suami) akan tetap meluas sampai wilayah keluarga dan masyarakat. Indikator ini terutama berkenaan dengan sikap mulia al-Maratus shalihah.
Indikator al-Maratus shalihah dapat dikenali dari sikap mulia yang dimilikinya dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mendambakan kesempurnaan
Atha bin Rabah berkata: “Ibnu Abbas bertanya kepadaku: ‘Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu seorang wanita calon ahli surga?’ Aku jawab: ‘Tentu saja.’ Ibu Abbas berkata: ‘Ini, wanita berkulit hitam ini pernah datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Sesungguhnya aku mengidap penyakit ayan, dan aku khawatir auratku terbuka, sementar. aku tidak sadar. Maka tolonglah doakan pada Allah agar aku sembuh.” Nabi saw. berkata: “Jika kamu bisa sabar menghadapinya, bagimu adalah surga, tapi kalau kamu menginginkan kesembuhan, aku juga bisa mendoakannya kepada Allah agar Dia berkenan menyembuhkan mu.’ Wanita itu berkata: ‘Saya akan coba sabar.’ Setelah itu wanita mi berkata lagi: ‘Tetapi aku khawatir auratku terbuka. Karena itu, doakan lah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.’ Lantas Nabi saw. rnendoakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
b. Senang Beribadah
Anas bin Malik r.a. berkata: “Nabi saw. masuk masjid. Tiba-tiba beliau lihat ada tali yang terbentang antara dua tiang masjid. Beliau bertanya: ‘Tali apa ini ?’ Para sahabat menjawab: ‘ini adalah tali milik Zainab. Apabila dia sudah merasa lelah (beribadah) maka dia akan bergantung pada tali itu.’ Nabi saw. berkata: ‘Tidak, lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang dan kalian melaksanakan shalatnya dalam keadaan segar. Kalau sudah merasa lelah, maka hendaklah dia shalat dalam keadaan duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)
Aisyah Berkata: “Nabi saw. datang menemui Aisyah. Ketika itu di samping Aisyah ada seorang wanita. Nabi saw. bertanya: ‘Siapa wanita ini?’‘Si Fulanah yang sering disebut-sebut mengenai shalatnya.’ Menurut riwayat Muslim: “Mereka menduga bahwa wanita itu tidak tidur pada malam harinya.’ Nabi saw. berkata: ‘Cukup, laksanakanlah ibadah semampumu. Demi Allah, Allah tidak pernah bosan sampai kamu merasa bosan sendiri.’ (HR Bukhari dan Muslm)
IbnuAbbas r.a. berkata: “Seorang laki-laki datang menemui Nabi saw. dan berkata kepada beliau: ‘Sesungguhnya saudara permpuanku bernazar akan mclaksanakan ibadah haji, tetapi dia sudah meninggal (sebelum sempat melaksanakan nazarnya).’ Nabi saw. berkata: ‘Andaikan dia mempunyai hutang, apakah kamu akan membayarnya?’ Lelaki itu menjawab: ‘Ya.’ Nabi saw. berkata: ‘Bayarkanlah (tunaikanlah nazarnya) kepada Allah, karena sesungguhnya Dia lebih berhak untuk dibayar!’” (HRBukhari)
c. Bersedekah dan berinfak
Abu Sa’id aI-Khudari berkata bahwa Rasulullah saw. selalu keluar pada han raya Adha dan han raya Fitri. Beliau memulai dengan shalat. Setelah menyelesaikan shalat dan mengucapkan salam, beliau berdiri menghadap kaum muslimin yang sedang duduk di tempat shalat mereka masing-masing. Jika beliau mempunyai hajat yang perlu disampaikan, bdiau tuturkan hajatnya itu kepada kaum muslimin. Atau kalau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam khotbahnya): “Bersedekahlah kalian, bersedekahlah kalian, bersedekahlah kalian!” Ternyata yang paling banyak memberikan sedekah adalah kaum wanita. (HR Muslim)
d. Berbuat baik kepada orang tua
Abdullah bin Buraidah, dan ayahnya, berkata: “Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah saw., tiba-tiba muncul seorang perempuan menghampiri beliau dan berkata: ‘Sesungguhnya aku telah menyedekahkan seorang budak perempuan untuk ibuku dan kini ibuku telah want. Rasulullah saw. berkata: “Kamu berhak memperoleh pahala dan ambil kembali budak perempuan itu untukmu sebagai warisan.” Perempuan itu bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku itu masih mempunyai tanggungan hutang puasa sebulan. Apakah aku boleh berpuasa menggantikannya” Rasuluilah saw. menjawab: “Ya, berpuasalah kamu menggantikannya!” Perempuan itu bertanya lagi: “Sesungguhnya ibuku itu belum pernah menunaikan ibadah haji. Apakah aku bisa menggantikannya?” Rasulullah saw menjawab: “Ya, laksanakanlah ibadah haji untuk menggantikannya!” (HR.Muslim)
e. Tawakal kepada Allah
Jabir r.a. berkata: “Sesungguhnya kami pada hari terjadinya Perang Khandaq bekerja menggali parit. Lalu terhalang oleh sebongkah tanah yang sangat keras. Para sahabat pergi menemui Rasulullah saw. untuk menyampaikan hal tersebut kepada beliau. Nabi saw. berkata: ‘Aku akan turun tangan.’ Kemudian beliau berdiri, sedangkan ikat perutnya diganjal dengan batu. Kami tinggal di sana selama tiga han tanpa pernah memakan apa pun. Nabi saw. mengambil cangkul, kemudian mencangkul tanah yang keras itu. Akhirnya tanah itu hancur menjadi pasir. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku kembali ke rumah.’ Lalu aku bertanya kepada istriku: ‘Aku telah melihat sesuatu pada Rasulullah saw. yang membuatku tidak tahan. Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk dimakan)?’ Istriku menjawab: ‘Aku mempunyai gandum dan seekor kambing betina.’ Lalu aku menyembelih kambing itu, sedangkan istriku bertugas menggiling gandum, sampai kami menaruh daging di dalam kuali. Kemudian aku pergi menernui Rasulullah saw.. Ketika adonan sudah lunak dan masakan di kuali yang terletak di atas tungku sudah hampir matang, aku berkata: ‘mi adalah sedikit makanan dariku, maka berdirilah, ya Rasulullah dan ajaklah maka sam atau dua orang.’ Beliau bertanya: ‘Berapa banyak (makananmu)?’ Aku sebutkan jumlah atau banyaknya kepada beliau. Beliau berkata: ‘Oh banyak, bagus.’ Kemudian beliau berkata: ‘Katakanlah kepada istrimu agar jangan menurunkan kuali dan roti dan dapurnya sampai aku datang.’ Setelah itu beliau berkata: ‘Berdirilah kalian!’
B. Dampak Al-Maratus Shalihah dalam Individu, keluarga dan masyarakat.
1. Dampak Bagi individu
Artnya : Seorang waita shaleh adalah lebih baik daripada 1000 Pria tidak shaleh, bahkan seorang istri setia melayani suaminya selama 7 hari, baginya tertutup 7 pintu neraka, dan terbuka 8 pintu sorga, ia dipersilahkan masuk dari pintu mana saja ia inginkan, tanpa hisab”
Seorang al-Maratus shalihah akan menampakan diri pada aktivitas-aktivitas yang bertujuan ibadah, oleh karenanya tidaklah mengherankan jika kedudukan wanta shalilah teramat mulia dalam pandangan Islam. Bagi individu sebenarnya bukan saja menjadikan dirinya menjad pribadi yang taqwa akan tetapi mengarahkan seluruh potensi dan kemampuan hidupnya untuk mengabdi kepada keluarga dan menghambakan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Sosok ideal seorang wanita muslimah memang teramat sulit untuk diterapkan, akan tetapi paling tidak ada beberapa indkator yang masih dapat dicapai oleh perempuan yang berusaha menjadikan dirinya sebaik-baik perhiasan dunia.
2. Dampak bagi Keluarga
Secara prinsip keluarga dibangun berdasarkan kekuatan kasih sayang antara seorang suam dan isteri, tentu saja sebuah keluarga yang didalamnya terdapat pribadi muslimah al-maratus shalihah. Allah SWT berfirman dalam surat ke-16 ayat 72:
Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"
Ayat di atas bertujuan untuk terpeliharanya kehidupan keluarga yang harmonis dan dapatlah daripadanya lahir suatu kumpulan unit kecil masyarakat yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik, Islam melalui syariatnya menetapkan sekian banyak petunjuk dan peraturan.
Secara bahasa, kata rumah (al-bait) dalam Al-Qamus Al-Muhith sebagaimana dikutif Abdurrahman An-Nahlawi bermakna “kemuliaan; istana; keluarga seseorang; kasur untuk tidur; bisa pula bermakna menikahkan, atau bermakna orang yang mulia. Dan makna bahasa tersebut, rumah memiliki konotasi tempat kemuliaan, sebuah istana, adanya suasana kekeluargaan, kasur untuk tidur, dan aktivitas pernikahan. Sehingga, rumah memang tidak hanya bermakna tempat tinggal, tetapi juga bisa bermakna penghuni dan suasana.
Keluarga islami bukan sekedar berdiri di atas kenyataan kemusliman seluruh anggota keluarga. Bukan juga karena seringnya terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari rumah itu. Bukan pula sekedar karena anak-anaknya disekolahkan ke masjid waktu sore hari. Rumah tangga islami adalah rumah tangga yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik yang menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dan yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah.
Keluarga islami adalah rumah tangga teladan yang menjadi panutan dan dambaan umat. Mereka betah tinggal di dalamiiya karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhidmat kepada Allah swt. dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun sempit.
Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal itu ditepati, akan mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 32 :
Artinya : dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Masih banyak keluarga muslim yang belum bisa berbuat sesuai dengan tuntutan Islam. Betapa sering kita dengar keluhan keguncangan di sebuah rumah tangga muslim bermula dari tak terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing. Suami hanya menuntut haknya dari istri dan anak-anak tanpa mau memenuhi kewajibannya. Demikian juga dengan istri. Maka bisa diduga, yang terjadi kemudian adalah ketidak harmonisan suasana.
Masih banyak pula kita dengar kasus penyimpangan seksual yang dilakukan oleh orang tua maupun remaja. Sumber bencana itu banyak yang berawal dari ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Fungsi-fungsi tak bisa berjalan dengan normal, karena adanya katub-katub curahan perasaan yang tersumbat, dan akhirnya meledak dalam bentuk penyimpangan-penyimpangan.
3. Dampak bagi Masyarakat
Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, amat banyak gangguan dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri secara tepat, maka ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih mungkin terjadi. Firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 2: Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Bisa dibayangkan, betapa sulitnya membentuk suasana islami apabila suasana kerja sama ini tak terwujud. Salah seorang memiliki kesenangan menonton televisi, hingga hampir semua acara dilihatnya. Seorang lagi hobi main musik di rumah. Yang lain lagi lebih banyak keluyuran dan begadang hingga larut malam. Tak ada suasana taushiyah (saling menasihati) di antara mereka. Lalu, bagaimana mereka bisa merasa sebagai sebuah keluarga muslim?
Diperlukan sebuah upaya ishlahul mujtama’ (pembinaan masyarakat) di sekitarnya menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga sesuai dengan arahan Islam. Di sini, rumah tangga islami harus memberikan kontribusi yang cukup bagi kebaikan masyarakat sekitarnya. Dalam era globalisasi informasi saat ini kita tak mungkin hisa hidup sendirian terpisah dari masyarakat. Betapa pun taatnya keluarga kita terhadap norma-norma ilahiyah, apabila lingkungan sekitar tidak mendukung, pelarutan-pelarutan nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak.
Rumah tangga Islam diharuskan untuk ikut aktif dalam rangka pembinaan masyarakat agar kehidupan sosial yang mengelilinginya benar-benar Islami secara fisik maupun secara ruhani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di rumah, sekolah dan masyarakat, Gema Insani Perss, Jakarta, 1987
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999
Muslim: Kitab ar-Radha’, Bab: Khairu mata’id dun-ya al-mar’atush saleh, juz 4,
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan ummat, Mizan, Bandung, 1996
Shabiq, Sayyid , Fiqih Sunnah Jilid 6, Al-Ma’arif, Bandung, 1997
Shaleh Al-Utsaimin dan A. Aziz Ibn Muhammad Daud, Perkawinan Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1996
Sunan Abi Daud, disunting oleh Muhammad Muhyidin, Abd Al-Hamid, Al Tijariyah Al-Kubro, 1953
Tahlib, Abu, 30 Petunjuk Perkawinan dalam Islam, Irsyad Baitus Salam, Bandung 2000
Assalamu'alaikum
BalasHapusSalam kenal dari gunung putri bogor